mewujudkan pendidikan estetis-artistik"tak berkepentingan"
Ibarat singkong rebus yang mogol, mentah tidak, matang juga tidak. Demikianlah wajah dan isi pendidikan kita yang dalam kesejatiannya rasa indah dalam memberi-menerima ilmu begitu sulit dilukiskan, sehingga ranah pendidikan sekarang sering dirasa hambar dan samar disaksikan. Bisa dibilang, keindahan dan wujud seni dalam pendidikan sudah punah. Pendidikan sebagai karya estetik-artistik, kehilangan 2 (dua) dari tiga unsur pembentuk keindahan, yaitu kesatuan (unity) dan kesungguhan (intensity), dan yang tersisa tinggal kerumitan (complexity).
Soal didik-mendidik bukanlah karya seniman neoklasik yang lahir dalam abad ke-16 atau abad sebelum itu. Sejak manusia lahir atau sebelum konsepsi, ia sudah mendapat bentuk dari kekaryaan yang indah. Pendidikan dapat dinilai sebagai karya seni maupun keindahan alamiah. Adanya campur tangan manusia -dalam mengelola anak dan orang dewasa- dalam segala proses pedagogis maupun andragogisnya telah mencirikan bahwa didik-mendidik adalah karya seni. Pendidikan dalam bentuk alamiahnya bukanlah intisari alam, karena pendidikan diadakan bukan semata-mata untuk memenuhi nilai estetisnya. Pendidikan tidak sekadar ada belaka, tetapi dinikmati dengan pertimbangan-pertimbangan tujuan pengetahuan (ontologis), proses pencapaian (epistemologis), dan manfaat (aksiologis).
Kini, “kerumitan” sebagai sisa unsur estetika pendidikan -yang tidak indah- yaitu semua pihak masih mencari formasi generasi beruntung dalam status sosial. Biaya pendidikan makin mahal, dan “orang miskin dilarang sekolah”. Idealisme yang makin surut karena goyangan kepentingan yaitu niat kebenaran dalam memaknai pendidikan, sebab kita sudah terprovokasi oleh asumsi “bersekolah demi kekayaan dan kehormatan”.
Keindahan pendidikan berwujud karya alamiah dan seni mulai dicemari oleh artistika dan sosio-kultural manusia itu sendiri. Pelibatan yang berkontaminasi ini menunjukkan gejalanya, ketika terlalu mengagungkan pendidikan formal, padahal ada keluarga dan masyarakat. Jelasnya, agitasi orang tua dalam bentuk pelbagai perlakuan dan pembiasaan akan merusak nilai etis-estetik pendidikan. Jika mendidik telah disisipi spirit materialisme, maka tercemarlah keindahan didaktik-metodiknya. Ada benarnya memang, pendidikan sering diarahkan pada kegiatan bersekolah, lalu bekerja, mendapat uang, berkeluarga, dan ritualisme kehidupan lainnya. Namun, sesungguhnya bukan itu pencapaian apresiasi sebuah das sollen-das sein (harapan-realita) berpendidikan, tetapi ada wujud rasa “marem” atau kepuasan spiritual, inilah yang sering diabaikan.
Menilai karya -abstrak dan realis- tidaklah mudah, apalagi karya pendidikan, sebab ada pertautan sehidup-semati seperti dua sisi mata uang. Parameter keberhasilan yang hanya diukur dari materi, jelas menunjukkan adanya penurunan aksentuasi nilai. Pendidikan sebagai change of behavior terkikis oleh perubahan derajat kepuasan. Harusnya, intensitas menikmati pendidikan sebagai karya yang indah tidak terkungkung pada derajat bandha (kekayaan), tahta (kekuasaan), busana (pakaian indah). Harus diejawantahkan, sebuah penikmatan itu hanya untuk memperoleh kesenangan, kegairahan hidup, kepuasan rohani, dan kelegaan dalam kehidupan emosial spiritual manusia, tanpa banyak faktor pertimbangan lainnya yang dapat mengganggu. Sekarang, ketika sertifikasi guru semakin didengungkan, tidak sedikit yang berorientasi demi tunjangan dan bukannya profesionalitas. Apalagi ditambah makin seringnya demo guru yang hilang kesadaran hingga menelantarkan murid-muridnya. Apakah demikian itu pendidik yang memahami pendidikan sebagai etika-estetika yang “tak berkepentingan”.
Menganalogikan makna mendidik bukanlah seperti pekarangan yang tumbuh serumpun bambu, pemiliknya mungkin tidak menikmati keindahannya. Hal-hal yang mungkin berkutat dalam pikirannya ialah kegunaannya untuk membuat kandang ayam, atau rebungnya untuk dimasak sayur lodeh, batangnya yang tua ditebang dan dijual ke pasar. Tetapi, seorang seniman akan menuangkan bambu itu dalam karya seni untuk dinikmati keindahannya. Seperti halnya pendidikan, bukanlah anak itu lahir kemudian minum susu dari ibunya setiap hari, lalu disekolahkan, dan disebut “orang” ketika menjadi kaya raya. Unsur menariknya dalam konteks pendidikan, yaitu menjelmakan anak itu mulai sebelum orang tuanya menjadi Pasutri sampai akhir hayatnya. Dalam kesehariannya terjadi perimbangan jasmani-rohani yang bisa seiring tapi tak sejalan, bisa harmonis maupun disharmonis. Dengan demikian, mendidikkan anak adalah proses humanisasi yang mengambil tema ragawi-ukhrawi berwujud ngolah rasa, olah pikir, olah jiwa, dan olah raga. Inilah inti sesungguhnya keindahan pendidikan.
Mencermati visi nasionalisasi pendidikan secara mikro-makro, seperti tak ada habisnya menjelek-jelekkan upaya pemerintah (Depdiknas). Vonis inilah yang menyesatkan, meskipun kadangkalanya ada benarnya. Apalagi jika kritik itu berunsur politis, lagi-lagi soal ekspansi materialisme berjaya. Padahal, jika ingin menyejajarkan pendidikan sebagai keindahan, maka harus memposisikannya pada apresiasi yang menyenangkan penglihatan, rasa, dan pendengaran.
Mengutip catatan The Liang Gie (2004), kesenangan yang dibangkitkan oleh hal indah haruslah yang tidak berkepentingan (disinterested pleasure). Kalau seseorang melihat suatu pemandangan yang indah di lereng gunung, ia merasa senang tanpa mempunyai kepentingan apa-apa, maka pastilah itu keindahan dan seperti itulah pendidikan yang sesungguhnya. Tetapi jika seorang yang membangun rumah megah dan indah ditepi danau, kemudian melukiskan keindahan rumah itu kepada orang-orang dengan maksud menjualnya, maka itu bukan digolongkan dengan seni yang estetis-artistik. Demikianlah pendidikan itu, jika memberi pelajaran kepada anak soal ekonomi, mendalami sampai menjadi sarjana demi pekerjaan, uang, dan kekuasaan, ini dinamai unbeautifully education.
Kesalahan fatal pendidikan tertumpu pada hilangnya estetika pelajaran sejati, yaitu learning to live together. Manusia itu bebas, saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan kebahagiaan setiap orang tergantung pada kebahagiaan semuanya. Pelajaran inilah yang harus direvitalisasi sebagai pelajaran pertama sekaligus terakhir. Manusia merupakan hasil seluruh ciptaan, sumber keindahan yang nyata. Oleh karena itu, jelas bahwa tujuan hidup adalah untuk berkembang ke arah keindahan. Alam, dalam semua aspeknya yang beraneka, berkembang menuju keindahan.
Seperti diungkapkan oleh Sobry Sutikno (2004), dalam mendidik anak, pertimbangan pertama haruslah benih keindahan ditebarkan dalam hati mereka. Saat tanaman itu tumbuh dia harus dirawat dengan sabar. Kesuburannya menjadi kesenangan penanamnya sehingga perkembangan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya. Pelajaran pertamanya adalah menyelaraskan pemikiran, perkataan, dan tindakannya.
Menciptakan karya jenius, diwujudkan dengan pijakan awal berupa penanaman bahwa dirinya sendiri adalah jiwa-raga berharga yang indah dan sempurna, tetapi kesempurnaan itu dapat rusak karena mereka tidak menghargai dirinya sendiri. Manusia ialah benda bernyawa dan beraktualisasi diri, tampil sebagai pribadi yang terkadang indah, cantik, dan bisa juga buruk rupa. Disinilah, pendidikan, oleh dan untuk kebenaran, serta “tak berkepentingan”, berperan mewujudkan generasi yang estetis-artistik.
Penulis: Widodo
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Prodi Kurikulum dan Teknologi Pembelajaran
HP. 081548575997
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar